Ditulis oleh Fitri Kurnia Handayani
Bismillah..
Semoga bisa diambil manfaatnya oleh saudari-saudari muslimahku..
(KISAH)
Sore itu,, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya
“Mbak kerja di mana?”, entahlah keyakinan apa yang meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya.
“Anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan umi ridho”, begitu katanya. Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“Kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan. Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..
Subhanallah..
Semoga pekerjaan, harta tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.
Posted by Safrony on Maret 26, 2011 at 11:42 am
Klo boleh tahu sumbernya aslinya dari mana?
Posted by biltzkrieght on Maret 26, 2011 at 12:41 pm
itu adalah kisah nyata yang dituturkan langsung kepada penulisnya.
wallahu a’lam.
barokallohu fiik.
Posted by c0mrade on Oktober 8, 2012 at 8:48 am
Innalillahi wa innailaihi rajiun baru saja dapat berita penulisnya Fitri Kurnia Handayani meninggal, semoga Allah merahmatinya, mengampuni dosa-dosanya, memudahkan segala urusannya, aamiin
Posted by Hasan Jasa Les Matematika on Oktober 8, 2012 at 10:16 am
semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah penulis tersebut (Fitri Kurnia Handayani) dan menempatkannya di Surga yang tertinggi…
Posted by Ketika Cinta Bertepuk Sebelah Tangan « .::Taman Hidayah::. on April 6, 2011 at 9:49 am
[…] Sebuah Renungan Bagi Kaum Wanita […]
Posted by mulyati on Mei 24, 2011 at 8:21 pm
Assalamualaikum wr wb……sedih membacanya….memang rezeki allah yg atur kta sebagai manusia hanya menjalaninya ..walaupun dapatnya sedikit yg penting halal utk keluarga rasanya nikmat …..blhkah ana izin copas seblmnya terima kasih kisahnya bagus …
Posted by ~[Taman Hidayah]~ on Mei 24, 2011 at 8:25 pm
waalaikumsalam…
silahkan ukhtiy…
barokallohu fiik.
Posted by Ya,ukhti…Janganlah Engkau Ceritakan Sifat Temanmu Kepada Suamimu « .::Taman Hidayah::. on Juni 26, 2011 at 7:45 pm
[…] Sebuah Renungan Bagi Kaum Wanita […]
Posted by Perjuangan Cinta « .::Taman Hidayah::. on September 8, 2011 at 8:55 am
[…] Sebuah Renungan Bagi Kaum Wanita […]
Posted by Miminchan on September 30, 2011 at 5:34 pm
Insya Allah, lebih mantap untuk melangkah.,
Jazakumulloh khairon
Baarokallohu fiyk
Posted by Unyit Centil on November 15, 2011 at 10:41 pm
Ya Allah,,,,mata ini lbh terbuka ktika membaca artikel ini dan ini bnr2 jd renungan untuk saya,,trimakasih
Posted by Kang Sueb Ora Urus on Desember 12, 2011 at 9:26 pm
sebuah renungan yg mengharukan ,cocok dibaca utk kaum wanita
Posted by Kang Sueb Ora Urus on Desember 12, 2011 at 11:08 pm
BACALAN RENUNGAN INI
Posted by Kang Sueb Ora Urus on Desember 12, 2011 at 11:09 pm
BACALAH RENUNGAN INI
Posted by Nabil Sb on Desember 28, 2011 at 1:04 pm
sebuah renungan untuk para wanita ,smg bermanfaat
Posted by ghozi on Desember 30, 2011 at 9:20 am
Bismillah, ana ijin copas ya, artikel yang bagus untuk akhwat, syukron, barokallohu fiik….
Posted by .:: Taman Hidayah ::. on Desember 30, 2011 at 9:43 am
silahkan.
wa fiik barokallohu.
Posted by shofia on Februari 14, 2012 at 5:07 pm
Terharu,ada bagian cerita diatas sama dg yg ak alami
Posted by anggie on Februari 15, 2012 at 10:55 am
ijin copas..renungan yang sangat mengharukan.. semoga bermanfaat juga untuk yang lainnya..
Posted by Abu Salman on Februari 16, 2012 at 5:48 pm
Assalamu’alaikum,
Masya Allah, cerita yang sangat mengharukan..
Izin copy paste di blog saya..
Posted by Sebuah Renungan Bagi Kaum Wanita « Catatan Abu Salman on Februari 17, 2012 at 1:54 pm
[…] Sumber: https://bloghidayah.wordpress.com/2011/02/19/sebuah-renungan-bagi-kaum-wanita/ Share this:FacebookEmailPrintTwitterDiggLike this:SukaBe the first to like this post. Leave a comment […]
Posted by .:: Taman Hidayah ::. on Februari 18, 2012 at 10:37 am
Diperbolehkan bagi siapa saja yang ingin copy.
Dipersilahkan tanpa perlu minta ijin lagi.
Semoga bermanfaat.
Barokallohu fiikum.
Posted by WOy… Cewek-cewek LINTAH… masuk lhu … | Pembaca.Net on Februari 19, 2012 at 1:21 pm
[…] Sumber: https://bloghidayah.wordpress.com/201…i-kaum-wanita/ […]
Posted by Jamil on Februari 20, 2012 at 8:24 am
gegabah sekali menurut sy yg sudah 20th menikah. gaji sy juga lebih besar drpd suami, suami sy bankrut dr usaha dan akhirnya hanya sy yg bekerja, suami sy hnya kadang sj ada penghasilan dr berjualan mobil
saat ini anak sy 5 dan Alhamdulillah bs tercover dgn gaji sy. jika memang Allah menurunkan rezeki bagi keluarga lwt tangan istri, itu tidaklah salah.. justru hrs disyukuri… apapun tindakan penting dlm keluarga, apalagi usia pernikahan awal spt cerita di atas, jgn terbwa emosi, bicarakan dan diskusikan baik baik, kalau perlu bcarakan dgn org tua terutama ibu. karena efeknya bukan pd suami – istri sj ttp juga kpd anak anak …
Posted by tafadhal on Juni 6, 2012 at 8:26 am
bismillah. sudah ukh, mari kita dukung dengan mantap saudara kita yang berniat mantap untuk beribadah kepada Allah. Insya Allah Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Allahumman shurna ya Allah. Allahumma yassir lana ‘ala umuriddunyana wadinina. Semoga Allah memudahkan urusan kalian sekeluarga. uhibbukum fillah.
Posted by Sebuah Renungan Bagi Kaum Wanita « Bahtera Ilmu on Februari 22, 2012 at 6:48 am
[…] (https://bloghidayah.wordpress.com/2011/02/19/sebuah-renungan-bagi-kaum-wanita/) Rate this: Share this:TwitterFacebookDiggRedditLinkedInPrintStumbleUponEmailTumblrLike this:SukaBe the first to like this post. […]
Posted by yoyok on Februari 22, 2012 at 1:43 pm
sangat terharu membacanya. bg sy keputusan yang tepat. sungguh tak ada makhluk satu pun yg dapat menjamin masa depan seseorang
Posted by Iie on Februari 23, 2012 at 7:41 am
Subhanallah .. Sungguh Renungan yang sangat menyentuh dan bermanfaat untuk kami, :’)
Posted by Meihta Dwiguna Saputra on Februari 23, 2012 at 10:15 am
Reblogged this on Meihta Dwiguna Saputra's Knowledge Base.
Posted by ratna on Februari 24, 2012 at 5:50 pm
terharu,,,,
ijin kopas ya..
Posted by ri zie on Maret 7, 2012 at 10:33 am
setiap perbuatan dan berkah Allah selalu ada disetiap langkah kita.
Posted by Laila noor on Maret 12, 2012 at 10:43 pm
Sangat terharu..membacany..sebuah renungan bagi para istri bagaimanapun hebatny dia jngn pernah menyepelekan suami
Posted by Abi Khansa on April 16, 2012 at 2:13 pm
Semoga Allah SWT memberikan HidayahNya pd Istri istri yg sholehah
Posted by fian on April 29, 2012 at 11:54 pm
sangat menggugah… ijin copas ya ukhty…
Posted by .:: Taman Hidayah ::. on Mei 19, 2012 at 9:02 am
Silahkan.
Afwan, ana ikhwan.
Posted by pocut on Mei 8, 2012 at 9:11 am
ijin kopas ya ukhti….
Posted by .:: Taman Hidayah ::. on Mei 19, 2012 at 9:01 am
Silahkan.
Tapi ana Ikhwan.
Barokallohu fiik.
Posted by c0mrade on Oktober 8, 2012 at 8:49 am
Innalillahi wa innailaihi rajiun baru saja dapat berita penulisnya Fitri Kurnia Handayani meninggal, semoga Allah merahmatinya, mengampuni dosa-dosanya, memudahkan segala urusannya, aamiin
Posted by abu Luqman Al magetany on Oktober 8, 2012 at 9:45 am
innalillahi wa innal lillahi rajiun yang menulis artikel ini telah wafat
Posted by siti arafah "ummu izul" on Oktober 21, 2012 at 4:33 am
Bismillah, ijin share
Posted by siti arafah "ummu izul" on Oktober 21, 2012 at 4:38 am
Inna lillahi wa. Inna ilaihi roji’un… Semoga Allah Ta’ala mmbrikan kemuliaan dan tempat yg Layak. Bgi penulis, Aamiin
Posted by Sebuah Renungan Bagi Kaum Wanita « Hanifroad's Blog on November 2, 2012 at 9:30 pm
[…] dari: https://bloghidayah.wordpress.com/2011/02/19/sebuah-renungan-bagi-kaum-wanita/), dengan beberapa […]
Posted by Faiz on Desember 3, 2012 at 12:13 pm
Izin copas
Posted by Adi M. Munadi on Februari 5, 2013 at 10:20 am
subhanallah
Posted by QAILULAH (Tidur Siang Cara Rasulullah) « yumiyulanda on Februari 19, 2013 at 5:42 pm
[…] Sebuah Renungan Bagi Kaum WanitaRated 5/5 (6 Votes) […]
Posted by Senandung Mutiara Hikmah on Juli 26, 2015 at 1:40 pm
Reblogged this on Mutiara Hikmah.
Posted by Sebuah Renungan Bagi Kaum Wanita | Life Journey on Juni 10, 2018 at 6:41 am
[…] Source : https://bloghidayah.wordpress.com/2011/02/19/sebuah-renungan-bagi-kaum-wanita/ […]