>>Kenapa Hanya “Jazaakallah” (جَزَاكَ الله) Saja? (Catatan Akhir Pekan ‘part 10)<<


Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang memilih bahasa Arab sebagai bahasa kitabnya yang mulia yaitu al-Qur’an dan menjadikannya sebagai bahasa persatuan kaum muslimin di seluruh dunia. Dan Allah telah menjadikan orang-orang yang mengetahui bahasa Arab sebagai orang mengetahui banyak hal tentang ilmu syar’i karena sumber ilmu syar’i adalah bahasa Arab dan definisi istilah-istilah dalam disiplin ilmu syar’i tersebut banyak dijabarkan dalam bahasa tersebut.

Semoga Allah merahmati Imam Syafi’i yang tetap mempelajari bahasa Arab selama 20 tahun padahal beliau adalah ulama fiqih yang merupakan keturunan Arab asli yaitu dari kabilah Quraisy. Beliau pun berkata,

“Tidaklah kuinginkan dalam mempelajari (bahasa Arab) ini kecuali agar memudahkan dalam mempelajari fiqh.”[1]

Beliau pula berkata ketika menerangkan keutamaan orang-orang yang mempelajari bahasa Arab,

“Para ahli bahasa Arab adalah jinnya manusia karena mereka mampu mengetahui apa yang tidak diketahui oleh orang lain.”[2]

***

Diantara hal yang menandakan bahwa kaum muslimin di tanah air bersemangat dalam hal pemenuhan kebutuhan berbahasa Arab adalah banyak dan semaraknya penggunaan istilah-istilah berbahasa Arab dalam kehidupan sehari-sehari.

Tak hanya itu, do’a dan dzikir yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kerapkali diucapkan, terutama do’a ketika mendapat kebaikan dari orang lain yaitu “Jazaakallahu khairan” (جَزَاكَ الله خَيْرًا) yang bermakna “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan”.

Mereka berusaha melaksanakan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bincangkan dalam sebuah hadits,

من صُنِعَ إليه مَعْرُوفٌ فقال لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ الله خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ في الثَّنَاءِ

“Siapa-siapa yang diberikan kebaikan lalu dia berucap ‘Jazaakallahu khairan’ kepada si pemberi maka sungguh itu telah cukup sebagai pujian (dan terima kasih).”[3]

Hanya saja, pada tema ini, tak sedikit kaum mislimin yang mengucapkan “jazaakallah” (جَزَاكَ الله) saja, bukan dengan lengkap “jazaakallahu khairan” (جَزَاكَ الله خَيْرًا).

Dan ini, menurut kami, merupakan sebuah kekeliruan. Ada beberapa argumen yang kami bawakan dalam mengklaim bahwa itu sebuah kekeliruan.

Argumen Pertama

Kata kerja “jazaa” (جَزَا) yang bermakna “membalas”, dalam kaidah bahasa Arab termasuk dalam Fi’il Muta’addi (الفعل المتعدى).

Apa yang dimaksud dengan Fi’il Muta’addi (الفعل المتعدى)?

Dalam kitab Tash-hil fie Ma’rifati Qawa’idi Lughatil at-Tartiil sebutkan bahwa:

الفعل المتعدى هو ما يحتاج إلى مفعول

“Fi’il Muta’addi (الفعل المتعدى) adalah fi’il (kata kerja) yang membutuhkan maf’ul (objek).”[4]

Dalam literatur lain yaitu kitab Mulakhkhash Qawa’idi al-Lughati al-‘Arabiyati disebutkan lebih lengkap tentang definisi ini:

الفعل المتعدى هو الذي لا يكتفي بفاعله ويحتج إلى مفعول به واحد أو أكثر

“Fi’il Muta’addi (الفعل المتعدى) adalah fi’il (kata kerja) yang tak cukup (disebutkan) dengan fa’il (subyek) saja dan fi’il ini membutuhkan sebuah maf’ul bihi (obyek) atau lebih.”[5]

Begitu jelas bahwa jenis kata kerja ini, Fi’il Muta’addi (الفعل المتعدى), tak cukup disebutkan hanya dengan subyek saja namun juga membutuhkan obyek satu atau lebih.

* Contoh kata kerja yang merupakan Fi’il Muta’addi : Fahima” (فهم) = Memahami.

* Contoh kalimat: “Fahima at-talaamiidzu” (فهم التلاميذ) = Siswa memahami.

Memahami apa?

Apa yang dipahami siswa?

Cukupkah dua kata “siswa memahami” dikatakan sebagai kalimat? Dalam bahasa Indonesia pun ini belum cukup. Begitu pula dalam bahasa Arab yang memiliki keteraturan kaidah yang kompleks.

Dalam hal ini dibutuhkanlah maf’ul bihi (obyek) biar perkaranya jelas. Misalkan yang dipahami siswa adalah “ad-darsa” (الدرس)= Pelajaran, maka struktur kalimatnya akan menjadi:

“Fahima at-talaamiidzu ad-darsa” (فهم التلاميذ الدرس)= “Para siswa memahami pelajaran”

Kata “ad-darsa”/pelajaran (الدرس) inilah yang dimaksud dengan maf’ul bihi (obyek) yang harus tertera pada konteks fi’il/kata kerja jenis ini.

Kembali ke obrolan, kata “jazaa” (جَزَا) yang bermakna “membalas”, sebagai Fi’il Muta’addi (الفعل المتعدى) tentu saja/harus membutuhkan objek agar lebih jelas.

Artinya, ketika disebutkan “jazaakallah” (جَزَاكَ الله) saja yang bermakna “semoga Allah membalasmu” maka tidak adanya maf’ul bihi dan ini tentu tidak benar.

Membalas dengan apa?

Dengan apa dibalas?

Inilah kerancuannya. Masih bersifat umum. Bisa membalas dengan kebaikan atau keburukan atau yang lain.

Sesuai dengan konteks hadits di atas maka “khairan” (خيرا)= kebaikan adalah maf’ul bihi (obyek) dan maf’ul bihi ini harus tertera dan tersebutkan oleh lisan kita ketika menyebutnya. Ini yang tidak banyak diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin.

Jazaakallahu khairan (جزاك الله خيرا)

Argumen Kedua.

Ucapan “jazaakallahu khairan” (جَزَاكَ الله خَيْرًا) yang tertera dalam hadits di atas merupakan do’a dan dzikir yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan sehingga pengamalan dan kelengkapan/kesempurnaan lafadznya lebih utama dititikberatkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata:

“Do’a dan dzikir yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bentuk do’a dan dzikir paling utama yang seharusnya diamalkan setiap muslim.[6]

Tak hanya itu, pengamalan dan penerapan kelengkapan/kesempurnaan lafadz ini menandakan kualitas ittiba’(peneladanan/pengikutian jejak) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu bertutur:

“Tidak diragukan lagi, do’a dan dzikir adalah termasuk ibadah yang sangat utama. Ibadah itu harus didasari dengan ittiba’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan konsekuen dan konsisten, bukan mengikuti hawa nafsu dan bukan pula mengada-ada, membuat sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya.”[7]

Ketika pengamalan dan kesempurnaan lafadz do’a dan dzikir, termasuk terkomposisikan dengan niat yang ikhlas, telah terkumpul pada seorang individu maka hasil yang diperoleh juga akan maksimal atau mendekati kesempurnaan.

Kembali kami kutip ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:

“Orang yang melaksanakan do’a dan dzikir yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan merasa aman dan selamat dan akan mendapatkan manfaat serta hasil yang optimal.”[8]

Ketika hanya mengucapkan “jazaakallah” (جَزَاكَ الله)= “semoga Allah membalasmu” saja, bahkan ada yang menulis “jzkllh”dan “jzk”, bukan dengan lengkap “jazaakallahu khairan” (جَزَاكَ الله خَيْرًا), maka adakah kesempurnaaun ittiba’nya? Adakah apik dan indahnya kesempurnaan lafadznya? Adakah kesempurnaan nilai kebaikan yang diperoleh dalam mengikuti sunnah seperti yang ditawarkan hadits di atas?

Tiga buah ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang kami kutip di atas telah menjawab tiga pertanyaan tersebut.

***

Alhasil, ucapkanlah dengan lengkap “jazaakallahu khairan” (جَزَاكَ الله خَيْرًا) agar sesuai dengan kaidah berbahasa, kesempurnaan ittiba’ baik dalam pengamalan dan kesempurnaan lafadznya dan kesempurnaan kebaikan yang akan diperoleh.

Demikian yang kami sampaikan dengan sangat sederhana. Kepada anda sekalian, kami kabarkan bahwa kami menyampaikan ini bukan dalam rangka memposisikan diri sebagai orang yang ahli lagi fasih dalam berbahasa Arab namun dalam rangka membagi-bagi secuil pengetahuan yang kami miliki dan kami pun sedang “tertatih-tatih belajar merangkak untuk bersiap-siap lari sekencang-kencangnya dalam menempuh jarak yang amat jauh.”

Jazaakallahu khairan (جزاك الله خيرا)

***

وفي الختام أرجو أن أكون قد وفقت في هذه الرسالة. وأعوذ بالله من الخطأ والزلل. وأسأله قبول الصالح من العمل. وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العلمين. والصلاة والسلام على أشرف المرسلين سيدنا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعه بإحسان إلى يوم الدين

.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

Penyusun: Abdullah Akiera Van As-samawiey

Editor: Johan Saputra Halim

Selesai disusun menjelang adzan dzuhur 23 Ramadhan 1432 H.

Ruang Bidang Dakwah Lantai 2 Masjid Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Mataram Islamic Centre.

End Notes:

[1] Manaaqib as-Syafi’i, karya Baihaqi II/42.

[2] Ibid, hal 53. Dikutip dari majalah Ads-Dzakhirah Al-Islamiyyah Edisi 68 vol. 9 No. 02, 1432 H/2011 M, hal. 38.

[3] HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-Kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah (4/1321), Ibnu Hibban (3413), Al-Bazzar dalam musnadnya (7/54). Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi

[4] Lihat kitab Tash-hil fie Ma’rifati Qawa’idi Lughati at-Tanziil hal. 23 oleh Ari Wahyudi

[5] Lihat kitab Mulakhkhash Qawa’idi al-Lughati al-‘Arabiyati hal. 87 oleh Fuad Ni’mah

[6] Majmuu’ Fatawa XXII/510-511. Dikutip dari buku Do’a dan Wirid Mengobati Guna-guna dan Sihir Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Pustaka imam as-syafi’I, cet ke-9, 2008.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

4 responses to this post.

  1. Posted by Harry on September 15, 2011 at 10:07 am

    Jazaakallah khairan atas artikel ini. Sekadar ingin mengetahui tentang kebiasaan di lapangan yang menambahkan “katsiran”. Apakah ada hadits atau referensinya?

    Salam,
    Harry

    Balas

  2. assalamualaikum,,maaf saya mau tanya kepada admin blog ini surah apa yang autoplay pada blogs halaman ini, wassalam

    Balas

  3. ALHAMDULILLAH di jawab…SYUKRON PAK

    Balas

Tinggalkan Balasan ke Harry Batalkan balasan